Last modified: 2023-11-02
Abstract
Sejak pemikiran modern dimulai, realitas sering diasumsikan sebagai sesuatu yang bersifat ajeg dan niscaya. Pengaruh pemikiran Plato ini begitu kuat, sehingga hakikat realitas Kartesian menjadi sebuah projek raksasa yang harus digali sampai ke akar-akarnya. Fisika pun di tangan Isaac Newton menjadi sebuah upaya penemuan dari esensi kosmik yang sifatnya abadi. Namun secara epistemologis upaya semacam ini menemui jalan buntu. Sebaliknya, Charles Darwin mencoba menempuh jalur yang berbeda dengan menggagas realitas yang bertumbuh lewat spesiasi. Spesies hadir karena tuntutan stresor dari lingkungan yang dihidupinya. Kedua jalur ini membuat secara epistemik fisika menjadi ilmu yang cenderung preskriptif, dan biologi bersifat deskriptif. Anil Seth, seorang pakar neurosains, menyimpulkan bahwa persepsi mahluk hidup adalah bentukan halusinasi terkendali dari kerja otak manusia, yang berasal dari interaksi tubuhnya yang bertindak sebagai stressor. Stephen Hawking, di akhir hidupnya merumuskan bahwa realitas kosmik bersifat biofilik, dan semua elemen selestial pada hakikatnya bertumbuh. Makalah ini mencoba melihat irisan antara jalur preskriptif fisika dengan jalur deskriptif biologi. Dengan mempergunakan studi literatur, penulis menemukan bahwa kedua disiplin tersebut berdiri di atas prinsip yang sama, bahwa realitas yang ajeg sebenarnya selalu bertumbuh dengan paradigma yang sifatnya konsisten yang merespons stresor di lokus eksistensinya.