Last modified: 2023-06-05
Abstract
Sejak awal abad Masehi, wilayah kepulauan Nusantara merupakan penghasil sejumlah komoditas ekspor primadona, termasuk rempah-rempah. Keberlimpahan rempah-rempah tersebut mendorong bangsa-bangsa asing, dari Cina, India, Indocina, dan Timur Tengah, berlayar ke Nusantara. Sejak abad ke-16 hingga ke-17, bangsa-bangsa Eropa, dari Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris, hingga Denmark, berlomba-lomba berlayar ke perairan Nusantara guna memperoleh komoditas tersebut. Salah satu wilayah yang mereka tuju adalah Banten, kota-pelabuhan yang penduduknya heterogen dan multirasial.
Banten, yang semula merupakan vasal Kerajaan Sunda, sejak kedatangan Portugis di abad ke-16 menjadi salah satu tujuan utama pembelian lada bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, permintaan pasar dunia atas stok lada dari Banten meningkat dan menimbulkan pro-kontrak di pihak Kerajaan Banten sendiri. Semasa pemerintahan wali raja, Pangeran Ranamanggala, kebun-kebun lada sempat dilarang dan digantikan dengan lahan persawahan atas pertimbangan bahwa lada menjadi pangkal peperangan orang Portugis melawan Belanda di perairan Banten. Setelah berakhirnya Perang Pailir (1608) antara pihak ponggawa yang mendukung “perdagangan bebas” melawan pihak bangsawan Banten yang menghendaki monopoli kerajaan atas komoditas setempat, keadaan Banten relatif aman walau harga beras kerap melonjak.
Kebijakan perdagangan bebas dan penanaman lada kembali di Banten digalakan kembali semasa pemerintahan Pangeran Ratu yang dikenal dengan Sultan Abul Mafakhir (1624-1651). Kebijakan perdagangan bebas Banten lantas dilanjutkan oleh cucunya, Sultan Abu Fatah (1651-1683) yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa. Semasa kepemimpinan Sultan Abu Fatah, Banten membuka pintu selebar-lebarnya kepada bangsa Eropa dan Asia—kecuali kepada VOC-Belanda, musuh bebuyutan Banten sejak masa pemerintahan kakeknya. Atas peran dua syahbandar yang berdarah Cina, Banten dibanjiri barang-barang impor, termasuk para pedagangnya, dari India, Benggali, Cina, hingga Indocina, selain budak-budak berasal dari India. Banten pun menjadi tujuan orang-orang Makassar setelah Sultan Hasanuddin kalah oleh VOC. Dari perdagangan bebas inilah, Banten menjelma sebagai negeri yang plural.
Makalah ini memperlihatkan bagaimana pluralisme, sebagai sebuah keniscayaan bagi negara yang mengedepankan perdagangan bebas, tetap terjaga di Banten semasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa di tengah perseteruannya melawan VOC-Belanda yang bercokol di Batavia—kota yang juga sangat majemuk dan merupakan tetangga sebelah Banten—yang ingin memonopoli perdagangan di Banten.