Open Conference Systems, Seminar Nasional Sanata Dharma Berbagi: Sosial dan Humaniora 2023

Font Size: 
FENOMENA “POLISI BAHASA” DAN KONTESTASI DISTINGSI BERBAHASA
Hugo Sistha Prabangkara, Widia Martina Sukma Dewi, Vania Williany

Last modified: 2023-06-05

Abstract


Fleksibilitas berbahasa menjadi cara individu memperjelas distingsi di tatanan masyarakat. Namun, hal itu selalu berbenturan dengan standar berbahasa “yang baik dan yang benar” yang digaungkan oleh “polisi bahasa”. Objek yang diamati adalah konten Twitter Ivan Lanin, seorang pakar Internet dan pemerhati bahasa Indonesia yang meletakkan bahasa Indonesia sebagai “korban” globalisasi yang tergerus kemajuan teknologi dan budaya “asing”. Contoh kasus yang selalu diangkat adalah cara berbahasa yang dipadukan dengan bahasa “asing” dan/atau bahasa daerah. Dari situ, muncul kekhawatiran akan lunturnya “kemurnian” berbahasa Indonesia. Melalui kajian kepustakaan, dan pengamatan empiris, standarisasi berbahasa ala “polisi bahasa” tidak memperhatikan konteks sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di Indonesia. Padahal, apabila merujuk pada konsep globalisasi kontemporer, proses hibridisasi (ber)bahasa tersebut merupakan hal yang tak terhindarkan. Pada praktiknya, para penutur memiliki sikap refleksivitas yang memahami konteks berbahasa; bahasa Indonesia masih tetap digunakan sebagai lingua franca dengan corak yang lebih majemuk. Maka, penelitian ini menunjukkan praktik “polisi bahasa” merupakan praktik pamer distingsi yang diraih melalui habitusnya. Dari situ, yang terjadi bukanlah penegakan standarisasi berbahasa, tetapi kontestasi (ber)bahasa yang mengakar pada konteks sosial, ekonomi, dan budaya penutur dan “polisi bahasa”.

Keywords


polisi bahasa, berbahasa, distingsi, lingua franca, globalisasi, reflexivity