Last modified: 2023-09-14
Abstract
Mangunwijaya, seorang arsitek dari Indonesia mengatakan bahwa sebagai hasil karya seni manusia, arsitektur merupakan tubuh sekaligus ruang yang mengungkapkan diri. Bangunan harus bisa melambangkan kehidupan penghuninya. Oleh karena itu, bangunan mestinya menyesuaikan bentuk dengan situasi dan budaya setempat. Hal ini bertujuan agar penghuni merasakan kehidupan rumahnya sebagai tempat yang nyaman dan aman tetapi juga memiliki ciri khas yang tidak sekadar mengikuti tren yang ada. Sayangnya, budaya arsitektur yang demikian perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena berbagai macam alasan, salah satunya karena tidak mampu untuk mengikuti tren. “Gerakan ikut tren” juga terasa dalam pembangunan gereja-gereja di Indonesia yang memiliki keseragaman corak dan cenderung bergaya Eropa. Martin Heidegger, seorang pemikir dari Jerman, pernah mengkritik pola hidup yang tenggelam dalam arus zaman, hilang di tengah keramaian, dan sekadar ikut tren sebagai cara bereksistensi yang tidak autentik. Ia menyebut mereka yang ikut arus sebagai das Man dan mereka yang hidup autentik sebagai Dasein. Hal ini kiranya juga sangat relevan untuk gaya arsitektur gereja masa kini yang “cenderung ikut arus” dan lupa akan kekhasan konteks dimana ia berada. Bagaimana relevansi karya arsitektur Mangunwijaya terhadap kritik inautentisitas eksistensi menurut Heidegger untuk konteks arsitektur gereja di Indonesia? Melalui metode kualitatif dengan teknik analisis literatur dan observasi langsung, penulis menemukan bahwa karya arsitektur Mangunwijaya yang terbuka dan merakyat adalah karya arsitektur autentik dalam konteks Indonesia yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, gaya arsitektur Mangunwijaya akan menjadi sangat relevan di masa depan khususnya jika muncul kesadaran akan adanya autentisitas hidup menggereja yang bukan lagi sekadar gereja Katolik di Indonesia, melainkan gereja Katolik Indonesia.