Last modified: 2023-10-18
Abstract
Yogyakarta dalam koridor demokrasi memang unik, atas nama keistimewaan, Gubernur dan Wakilnya tidak dipilih melalui pemilu layaknya daerah-daerah lain. Saya jadi membayangkan, dari penguasa yang ditetapkan secara aklamasi, apakah ada jaminan untuk kebebasan berekspresi, berpendapat, atau bahkan menciptakan revolusi? Inilah pertanyaan yang muncul di benak saya ketika berhadapan dengan program dan acara kesenian yang diinisiasi oleh instansi pemerintah dan difasilitasi dengan dana publik. Studi ini adalah impresi awal pada tiga program yang sepenuhnya dibiayai dengan Dana Keistimewaan, yaitu Festival Kebudayaan Yogyakarta, Nandur Srawung dan Program Kalurahan/ Desa Budaya. Ketiganya tentu harus berhadapan dengan berbagai aturan tertulis dan tidak tertulis. Di tengah berbagai problem sosial dan struktural di Yogyakarta, bagaimana sektor kebudayaan yang dari tahun ke tahun mendapat alokasi terbesar dalam skema anggaran Dana Keistimewaan menghadirkan sebuah keriaan program kesenian?. Artinya, dengan sedikit melihat kembali dinamika sosial yang mengawali kelahiran Undang-undang Keistimewaan dan Dana Keistimewaan, bagaimana segala hal dengan embel-embel istimewa ini harus berhadapan dengan perkara-perkara yang tidak sederhana. Dengan mengambil data melalui pengalaman etnografis pada ketiga program tersebut dan wawancara bersama para kurator dan pendamping desa budaya, tulisan ini akan menceritakan bagaimana negosiasi pada wilayah ekonomi-politik, tata kelola dan estetika.