Open Conference Systems, Seminar Nasional Filsafat 2025

Font Size: 
Mendobrak Dominasi Laki-laki atas Perempuan di Suku Atoin Meto: Sebuah Kajian Filosofis Dalam Terang Filsafat Manusia Ibnu Sina
Sebastianus Rikardo Eldi, Yanuarius Ponis Putra, Martinus Joko Lelono

Last modified: 2025-10-16

Abstract


Kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan menjadi persoalan yang tidak pernah selesai dibahas. Kerap dijumpai realitas di mana perempuan hanya dilihat sekadar sebagai boneka budaya. Salah satu contohnya terjadi Suku Atoin Meto di Timor Tengah Selatan. Dalam realitas ketimpangan tersebut, laki-laki kerap dipuja karena mereka adalah pemilik suku dan pewaris harta. Sementara kaum perempuan terkhususnya para janda yang secara ekonomis lemah harus melayani laki-laki setelah melakukan sunat adat. Umumnya, setelah tiga sampai empat hari disunat, seorang harus mencari janda ataupun istri orang untuk berhubungan badan. Ada fenomena di mana perempuan (janda) tidak memiliki kemauan, tetapi karena dituntut oleh ahli sunat, maka berhubungan intim menjadi konsekuensinya. Secara medis berhubungan seksual dengan laki-laki sehabis sunat adat menimbulkan penyakit bagi perempuan. Namun, karena praksis hidup sudah dianggap sebagai jalan yang benar, maka mau tidak mau harus dilakukan. Dalam kajian ini, peneliti menggunakan pisau analisis filosofis Ibnu Sina. Sejauh yang didalami, konsep tentang manusia (jiwa) dalam diri manusia menurut Ibnu Sina dibagi ke dalam tiga bagian, yakni nabati, haywani, dan aqli. Tujuan kajian ini adalah untuk mendobrak dogmatisisme budaya yang berusaha mendominasi kaum perempuan dalam ruang privat maupun sosial. Adapun metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan bersumber pada karya-karya Ibnu Sina serta kajian banyak penulis tentang perempuan dalam suku Atoin Meto. Kebaruan dalam kajian ini terletak pada analisa penulis yang mencoba menganalisis realitas perempuan sifon (bife banu) dalam terang filsafat manusia Ibnu Sina. Dapat disimpulkan bahwa sistem kelas berupa dinamika subordinatif dan dikotomi yang dihidupi oleh masyarakat suku Atoin Meto adalah sebuah kekeliruan yang butuh percikan kebenaran.

 

(The social gap between men and women is an issue that is never-ending. It is often the case that women are seen merely as cultural dolls. One example of this is the Atoin Meto tribe in South Central Timor. In this reality of inequality, men are often revered because they are the owners of the tribe, the heirs, and capable of fighting. Meanwhile, women, especially widows who are economically weak, must serve men after undergoing traditional circumcision. Generally, after three to four days of circumcision, a man must find a widow or someone else's wife to have sexual relations with. There is a phenomenon where women (widows) do not have the will, but because they are demanded by tribal leaders, sexual intercourse becomes the consequence. Medically, sexual intercourse with men after traditional circumcision causes disease in women. However, because this practice is considered the right way of life, it must be done whether one likes it or not. In this study, the researcher uses Ibn Sina's philosophical analysis. As far as has been explored, Ibn Sina's concept of the human being (soul) is divided into three parts, namely the vegetative, the animal, and the rational. The purpose of this study is to break down the cultural dogmatism that seeks to dominate women in both private and social spheres. The method used is a literature study based on the works of Ibn Sina and the studies of many authors on women in the Atoin Meto tribe. The novelty of this study lies in the author's analysis, which attempts to analyze the reality of sifon (bife banu) women in the light of Ibn Sina's philosophy of humanity. It can be concluded that the class system in the form of subordinate dynamics and dichotomy lived by the Atoin Meto tribe is a fallacy that needs to be corrected.)

 

 


Keywords


Sunat Adat, Bife Banu (perempuan sifon), Ibnu Sina, Nabati, Haywani, Aqli.