Open Conference Systems, Seminar Nasional Filsafat 2025

Font Size: 
MEMBELA YANG TERPINGGIRKAN DALAM KERANGKA ETIKA PENGAKUAN DAN KERENTANAN JUDITH BUTLER
Aquilio Jeane Windy Putra, Yosef Gunawan, Marianus Afentino Penabur, Afrianus Juang

Last modified: 2025-10-15

Abstract



Ketidakadilan sosial sering kali berakar pada kegagalan mengakui keberadaan dan kerentanan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Judith Butler, filsuf kontemporer terkemuka, menawarkan kerangka etika pengakuan (ethics of recognition) dan konsep kerentanan (precariousness) sebagai basis untuk memahami kondisi kehidupan mereka yang terpinggirkan dan tertindas. Penelitian ini bertujuan menggali pemikiran Butler untuk dijadikan kerangka analisis atas realitas kehidupan kaum yang tidak diakui dan terpinggirkan. Metode studi pustaka digunakan untuk menggali data. Dua pertanyaan utama yang menjadi instrument penelitian adalah: bagaimana realitas kehidupan kaum tertindas atau mereka yang tidak diakui, dan bagaimana konsep etika pengakuan dan kerentanan Butler menawarkan dasar etis untuk mengafirmasi kehidupan tersebut?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Butler, pengakuan bukanlah tindakan sukarela atau moralitas individual semata, melainkan struktur relasional yang melekat pada hakikat kemanusiaan itu sendiri. Kerentanan adalah kondisi universal yang mengikat semua manusia dalam saling ketergantungan, namun distribusi kerentanan ini tidak merata karena sistem kekuasaan tertentu membuat sebagian kehidupan dianggap "tidak berharga" atau "tidak layak diratapi" (ungrievable lives). Etika pengakuan Butler menuntut kesadaran bahwa semua kehidupan rentan dan saling bergantung, sehingga mengakui dan diakui merupakan hak fundamental setiap manusia tanpa pembedaan apa pun. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang pentingnya membangun etika relasional yang mengafirmasi kerentanan bersama sebagai landasan keadilan sosial dan kemanusiaan.


Keywords


Etika pengakuan, Kerentanan, Kaum tertindas, Relasionalitas, Keadilan sosial