Open Conference Systems, Seminar Nasional Filsafat 2025

Font Size: 
Petuah Adat sebagai Paradigma Etika Hidup Berkelanjutan: Studi atas Ungkapan Ina Tua Timu Ama Baho Lein dan Inaté Amaté Genâ Ola, Ola Kaé Todé Tai
Wilhelmus Oka Saja Beding, Nikolaus Tada Kotan, Remigius Kedang Roma

Last modified: 2025-10-17

Abstract


Dalam menghadapi tekanan modernisasi, gaya hidup individualistik, dan krisis lingkungan global, masyarakat tradisional menghadirkan kearifan lokal yang sarat makna etis dan ekologis. Petuah adat;  “Ina Tua Timu Ama Baho Lein” dan “Inaté Amaté Genâ Ola, Ola Kaé Todé Tai” mencerminkan sistem nilai yang menekankan harmoni antara manusia, alam, leluhur, dan komunitas sosial. Kajian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai moral, ekologis, dan budaya yang terkandung dalam kedua petuah tersebut serta menelaah relevansinya sebagai pedoman hidup berkelanjutan di era kontemporer. Dengan pendekatan kualitatif melalui studi pustaka, deskriptif-analitis, dan hermeneutik, penelitian ini memfokuskan analisis pada tiga komponen utama: sikap (seperti kesabaran dan rasa hormat), perilaku (kerja keras dan keterlibatan kolektif), serta karakter (tanggung jawab sosial dan ekologis). Hasil kajian menunjukkan bahwa kedua petuah tersebut berfungsi tidak hanya sebagai instrumen kontrol sosial dalam masyarakat adat, tetapi juga sebagai paradigma etika hidup berkelanjutan yang menyatukan dimensi fisik, sosial, dan spiritual. Dalam konteks kekinian, nilai-nilai seperti loyalitas terhadap warisan leluhur, gotong royong, dan kesadaran ekologis menjadi sangat relevan dalam merespons tantangan global, menjadikan petuah-petuah ini penting untuk dimaknai ulang sebagai fondasi etika dan spiritualitas masa kini.

 

Abstract

In the face of modernization pressures, individualistic lifestyles, and the global environmental crisis, traditional societies present local wisdom rich in ethical and ecological significance. The customary sayings, "Ina Tua Timu Ama Baho Lein" and "Inaté Amaté Genâ Ola, Ola Kaé Todé Tai", reflect a value system that emphasizes harmony among humans, nature, ancestors, and the social community. This study aims to explore the moral, ecological, and cultural values contained within these two proverbs and examine their relevance as a guide for sustainable living in the contemporary era. Using a qualitative approach through literature review, descriptive-analytical methods, and hermeneutics, this research focuses its analysis on three main components: attitudes (such as patience and respect), behaviors (hard work and collective involvement), and character (social and ecological responsibility). The findings indicate that these two proverbs function not only as an instrument of social control within indigenous communities but also as a paradigm for a sustainable ethics of life that unites physical, social, and spiritual dimensions. In the present context, values such as loyalty to ancestral heritage, mutual cooperation (gotong royong), and ecological awareness become highly relevant in responding to global challenges, making these proverbs important to be reinterpreted as a foundation for contemporary ethics and spirituality.


Keywords


Kearifan Lokal, Petuah Adat, Etika Hidup Berkelanjutan, Nilai Moral dan Ekologis, serta Modernisasi dan Krisis Lingkungan