Last modified: 2024-10-11
Abstract
Tulisan ini bertujuan mengkaji local wisdom yaitu tarian kebalai pada perayaan 17 Agustus yang mengintegrasikan kembali masyarakat Rote yang ter-segregasi akibat politik identitas dapat membangun dialog bersama. Tarian kebalai diekspresikan secara kolektif oleh masyarakat Rote dengan cara membentuk lingkaran, bergandengan tangan dan menari mengikuti bini atau syair yang dinyanyikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi realis, cara pengambilan data melalui wawancara, observasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian menemukan bahwa masyarakat Rote menggunakan tarian kebalai pada perayaan 17 Agustus sebagai ritual publik yang mendorong keterlibatan antaragama untuk membangun dialog. Dialog yang terjadi dalam tarian kebalai merupakan dialog berbasis pada ruang keseharian (quotidian) yang melibatkan semua orang yang berbeda agama, masyarakat membangun dialog menggunakan simbol keagamaan yang berbeda (ada yang menggunakan kerudung dan ada yang menggunakan kayu salib) mereka berdiri berdampingan dan bergandengan tangan bersama dalam tarian kebalai. Dan lewat bini atau syair tarian kebali mengaktifkan kembali collective memory tentang “perasan senasib” sebagai sesama bangsa jajahan koloni. Imajinasi kembali perasaan senasib inilah mendorong keterlibatan antaragama untuk saling berdialog. Dengan demikian tarian kebalai pada perayaan 17 Agustus sebagai ruang interreligious engagement dapat mempersatukan kembali masyarakat Rote yang ter-segregasi menjadi bersaudara.